perlawanan Semut Api
Untuk saudara-saudaraku di Papua: Tak ada kemenangan yang datang dengan sendirinya. Kemenangan mesti dicari. Mesti direbut apabila ia dikuasai.
Musim kemarau panjang dan ganas tak kunjung pergi dari hutan yang tinggal sejumput* itu. Tampaknya, hutan itu adalah dangau persinggahan yang pas untuk sang kutukkan. Hutan menjadi kering kerontang. Seperti tak ada kehidupan. Bangkai ikan-ikan kecil-besar, burung-burung Pelikan, burung-burung Enggang, Ular, Menjangan, dan Pelanduk bergelimpangan di tepi an jantung hutan. Kelaparan dan kehausan. Membusuk. Dan bau busuk jualah yang menyebar ke seantero hutan. Semua penghuni hutan, manusia dan binatang, berimigrasi entah ke mana. Bersikukuh hidup di hutan itu sama saja bunuh diri. Keputusan yang goblok. Musim kemarau adalah kutukkan! Jangan mengada-ada, kau! Mana buktinya? La, banyak. Lihat perusahaan-perusahaan jahat itu! Tiap hari mereka menggusur pohon-pohon dan kemudian membakarnya. Apa perlu bukti lagi?
Namun anehnya. Dari sebagian besar penghuni hutan itu, hanya kelompok Semut Api dan seekor Babi Hutan gemuk-besar beserta kutu-kutunya yang kuat bertahan. Kelompok Semut Api pun terheran. Bukannya Babi Hutan itu rakus? Kan ia perutnya seribu kali lipat perut kami? Pasti ada yang tidak beres. Dan beberapa ekor Semut Api pun melakukan penyelidikan selama beberapa hari. Alhasil, ternyata Babi Hutan itu ialah peliharaan salah seorang pemilik perusahaan. Pantas.
“Oh, begitu rupanya,” celetuk sang ratu.
“Ya. Kami melihat langsung Babi Hutan itu diberi makan oleh manusia, Ratu,” jelas salah seekor semut.
Sang ratu pun diam. Mencoba menerka-nerka.
“Baiklah,” lanjutnya, “Kalian selidiki terus Babi Hutan itu. Jangan sampai ia datang kemari dan merusak rumah kita!”
“Siap, Ratu.”
Rupanya, Semut Api dan Babi Hutan tak pernah akur. Sejak dahulu kala. Sampai saat ini. Ketidakakuran itu berawal dari neneknya nenek Semut Api dengan kakeknya kakek Babi Hutan. Konon kabarnya, menurut cerita yang tak lagi asing bagi penghuni hutan, tertuama binatang, hiduplah dua sahabat yang saling menjaga, yaitu, Semut Api dan Babi Hutan. Satu ketika, rumah Semut Api dihantam badai yang begitu dahsyat. Sehingga rumah dari gundukan tanah itu hancur. Berapa yang mati? Hanya Semut Api lah yang tahu. Nah, karena kakeknya kakek Babi Hutan turut serta membangun rumah itu kembali. Merasa berhutang jasa, neneknya nenek Semut Api ingin membalas kebaikkan itu. Akan tetapi, lama-kelamaan kakeknya kakek Babi Hutan melampaui batas perikebinatangan. Ia terus menerus menyuruh neneknya nenek Semut Api mencari makan untuknya.
Karena merasa dijadikan budak, neneknya nenek Semut Api menyuruh semua Semut Api berkumpul di rumah baru mereka.
“Ini tidak adil namanya, Ratu,” ucap salah seekor semut. Kesal.
“Ya! Kita bukan budak!” sambung seekor semut lainnya.
“Ya! Sepakat. Kita hidup dan bekerja macam ini demi generasi setelah kita!” seekor semut terpancing emosi.
“Sabar, saudara-saudaraku, jangan gegabah. Gegabah adalah ambang kekalahan.”
Semua Semut Api diam. Gemetar.
“Lihatlah dia,” lanjut sang ratu. “Apakah kita hendak seperti bangkai-bangkai itu?! Gimana? Jangan diam! Mau tidak? Mangkanya saudara, kita mesti menuyusun strategi yang akan kita gunakan untuk melawan Babi Hutan itu terlebih dahulu.”
Akhirnya kelompok Semut Api berhasil menyusun strategi perang. Sialnya, ketika perang terjadi, neneknya nenek sang ratu beserta prajuritnya kalah. Hanya seekor Semut Api yang berhasil selamat. Dialah yang menceritakan kejadian itu kepada sang ratu yang sekarang.
Begitulah awal mula kenapa Semut Api dan Babi Hutan tak pernah akur.
***
Musim hujan adalah mimpi indah bagi penghuni hutan yang bersikukuh tinggal. Tapi sayangnya, mimpi hanyalah sebuah kepalsuan. Berbulan-bulan lamanya bertahan, persediaan kelompok Semut Api pun kian menipis. Ke mana mereka pergi mencari air? Sungai telah kehilangan air. Pada embun? Ah, embun tidak ada di musim kemarau. Bukan. Itu bukan embun. Itu asap pembakaran hutan! Jangan salah mengira.
Barisan burung Gagak hilir-mudik mencari bangkai. Tak terdengar lagi angin yang usil mengusik daun. Pohon telah kehilangan daun. Meranggas. Pun tak ada lagi sepasang burung Enggang yang bertengger di atas pohon meranggas. Hampir semua penghuni hutan telah mati. Alangkah ironis hidup di hutan itu. Namun beda halnya dengan Babi Hutan yang dipelihara oleh seorang pemilik perusahaan itu. Ia acap kali mendapat makanan hewan impor. Dan lihat. Perutnya gemuk. Kalau ia berjalan, perutnya yang besar itu menyentuh tanah. Betapa sejahteranya ia. Sementara itu, kelompok Semut Api kehilangan beberapa saudaranya. Kelaparan dan kehausan. Bau busuk pun tersebar di dalam rumah. Ada yang berdoa seraya tersedu-sedan mengharapkan musim hujan segera tiba. Tapi musim hujan tak jua tiba. Dan musim kemarau panjang semakin mengganas. Ia tak ubahnya malaikat pencabut nyawa yang tiba sesuka hatinya.
Di dalam rumah, sang ratu pusing tujuh keliling. Cara macam apalagi yang mesti ditempuhnya untuk mensiasati kematian yang sia-sia. Imigrasi tidak mungkin. Bertahan pun sangsi. Sebagai seorang ratu, ia bertanggung jawab penuh atas kematian yang sia-sia itu. Suatu malam sang ratu tak kuasa menahan diri untuk tidak menitikkan air mata. Semut Api juga punya hati. Apalagi manusia? Kan begitu? Hm, aku tak yakin. Mengapa tidak? Karena perikebinatangan lebih baik daripada perikemanusian! Ha-ha-ha. Hus! Di sini kau tak boleh bebas tertawa. Diamlah. Mau ditangkap?
Kesunyian malam yang tanpa bulan dan bintang membuat sang ratu semakin larut dalam kesayuan. Melihat keadaan macam itu, dua komandan pasukan menghampiri.
“Tak perlu berlarut, Ratu. Kita mesti ikhlas. Doakanlah mereka yang telah pergi mendahului kita. Semoga mereka tenang di Sorga. Sekarang, alangkah baiknya kalau kita merundingkan keadaan semacam ini ke saudara-saudara kita,” ujar komandan pasukan satu.
“Ya, Ratu. Saya sepakan dengan komandan pasukan satu. Alangkah baiknya kita bicarakan ini ke mereka. Biar ini tidak membuat Ratu semakin terpuruk. Ini masalah kita bersama. Bukan hanya Ratu,” sambung komandan pasukan dua.
“Baiklah,” ucap sang ratu seraya menyeka air matanya. “Mari kita lakukan apa yang kalian berdua katakana tadi. Memang tak payah aku macam ini. Yang pergi biarkan tenang. Segera kumpulkan mereka,” lanjutnya.
Tak berapa lama kemudian, naiklah sang ratu ke atas mimbar di hadapan ribuan Semut Api.
“Saudara-saudaraku. Sungguh begitu lemah diriku untuk menjadi seorang Ratu Semut Api. Aku gagal melindungi ratusan saudara kita yang mati tempo hari. Strategi yang susah payah kita susun, nihil. Malahan berbuah kematian. Tapi, saudara-saudaraku, menyesal atas apa yang terjadi adalah dosa besar. Sebab kita dilahirkan bukan untuk menyesal dan menyesal. Kita mesti bangkit dari keadaan semacam ini. Aku percaya, tuhan tidak tuli. Ia jelas akan membantu kita. Percayalah!” keadaan menjadi riuh. “Saudara-saudaraku,” lanjut sang ratu. “Besok kita semua akan keluar dari rumah kita tercinta ini untuk mencari makanan dan air. Persediaan kita begitu menipis. Besok subuh kita berangkat,” sang ratu kemudian turun dari mimbar lalu pergi ke kamarnya.
Malam pun berlalu begitu saja bersama kejahanaman musim kemarau.
***
Pagi-pagi betul ribuan Semut Api keluar dari rumah. Melintasi semak dan tanah yang merekah menuju ke Barat. Di langit burung Gagak dan Elang berkelahi berebut bangkai saudaranya sendiri.
Petang tak terasa tiba begitu saja. Ribuan Semut Api itu pun kuat berjalan. Perut mereka yang kecil mesti diisi.
Fatamorgana yang menyerupai air berkali-kali menipu dari kejauhan. Dalam kepala sang ratu terbesit pesan sang nenek: kau akan menemukan apa yang kau cari jika kau pantang menyerah, Cu. Percayalah. Sebentar lagi senja akan tiba. Dan ribuan Semut Api itu kuat berjalan.
Tiba-tiba ribuan Semut Api itu berhenti.
“Sebentar!” teriak komandan pasukan satu.
Semua bertanya-tanya.
“Buah Kesturi*. Aku mencium bau buah Kesturi di sekitar sini!” lanjut komandan pasukan satu. “Semuanya, segera cari.”
Barisan itupun bubar dengan rapi.
Ternyata, apa yang dikatakan komandan pasukan satu. Sebiji buah Kesturi tergeletak di semak-semak kering.
“Ini dia! Ini dia!” teriak seekor Semut Api.
Sentak semua Semut Api lainnya menghampiri.
Dan, tanpa sepengetahuan ribuan Semut Api, Babi Hutan datang. Sambil semringah, Babi Hutan itu berkata:
“Ini yang kalian cari? Ha-ha-ha, makan ini! Semut Api sialan!” ucap Babi Hutan seraya tertawa tergelak-gelak.
Buah Kesturi itupun lecek.
Komandan pasukan satu dan dua marah besar.
“Semua Semut Api, serang Babi Hutan satu ini!” teriak keduanya.
Perkelahian pun terjadi. Begitu alot. Satu, dua, sebelas, seratus, seratus satu, begitulah jumlah Semut Api yang mati terijak kaki Babi Hutan.
Satu, dau, tak terhitung korban berjatuhan. Babi Hutan cukup kuat. Tapi tak cukup cerdik. Ia berhasil dirobohkan. Ratusan lebih Semut Api masuk ke dalam telinga, mulut, rongga hidung, dan duburnya. Bisa Semut Api pun berhasil disuntikkan ke dalam tubuh Babi Hutan. Ya, tak lama kemudian Babi Hutan kalah. Mati.
“Saudara-saudara! Ratu! Ratu! Ratu!” teriak seekor Semut Api. Terputus-putus.
Sang ratu ternyata terinjak kaki Babi Hutan.
“Ratu masih hidup. Ia masih bernapas!” ucap seekor Semut Api lainnya setelah memeriksa sang ratu.
“Panggilkan komandan pasukkan,” bisik sang ratu. Terbata-bata. Pelan. Hampir tak terdengar.
Yang dicari pun datang. Kedua komandan pasukan itu duduk di samping kiri dan kanan sang ratu.
“Ingat pesanku baik-baik. Jagalah saudara-saudara kita dengan sungguh-sungguh. Meski nyawa jadi taruhannya. Percayalah, tak ada kemenangan yang datang dengan sendirinya. Kita harus mencari kemenangan itu sendiri. Dan merebutnya apabila ia dikuasai. Selamat tinggal saudaraku,” ucap sang ratu.
Sang ratu mati. Menyaksikan kematian sang ratu di depan mata-kepala sendiri, membuat ratusan Semut Api yang masih tersisa menangis tersedu-sedan. Dan ada yang sampai tak sadarkan diri.
Catatan:
Sejumput (sangat sedikit)
Kesturi (mangga hutan)
(Yasir Dayak, 18 Juni 2016, Gunung Pati)
) Sumber : Enggang Jantan
0 Komentar