Tangis Bintang Kejora di Jantung Mamakota
Tangis Bintang Kejora di Jantung Mamakota
Lantang dari atas mobil komando, ‘Papua Merdeka… Papua Merdeka… Papua Merdeka..’. suara itu berulang membara di ujung megafon.
Simbol papua merdeka menyebar ke tiap tulisan poster, bendera, lukisan pada tubuh dan ekspresi suara pada megafon.
Para perempuan papua itu mewarnai tubuhnya dan membungkus diri dengan kain bintang kejora. ‘papua bukan merah putih, tapi papua bintang kejora’ itu tegas terucap dari mulut perempuan papua yang sedang menari untuk membebaskan diri.
Di antara itu, laki-laki papua memberi rambut keritingnya sebagai tempat berkampanye. Dari rambut kepala, hingga kumis diwarnai bintang kejora, hamparan darah mengelilingi bintang putih dan dihubungkan dengan tujuh garis putih biru. Sang fajar, orang-orang Papua menyebutnya bintang kejora, simbol kebebasan yang diperjuangkan!
Sementara kawannya yang berasal dari Indonesia, membungkuk di hadapan bintang kejora dan meminta maaf atas kejahatan manusiawi yang dilakukan bangsanya terhadap orang-orang papua.
Di tengah jalanan beraspal Mamakota atau penguasa meyebutnya Kota Jakarta, di depan gedung Duta Besar Amerika Serikat, bendera AMP berkibar di antara massa aksi. ‘Papua Merdeka…Papua Merdeka..Papua Merdeka..’ itu tak henti-henti dilantungkan.
Ketidakadilan, marginalisasi, ketimpangan ekonomi, operasi militer, perampasan hak sipil, pembungkaman ruang hidup, pembunuhan rakyat, terucap jelas sepanjang orasi politik. Lantas siapa yang bertanggung jawab?
Massa aksi, bintang kejora, bendera AMP, orang-orang Papua dan rakyat Indonesia yang mendukung itu berdiri di antara Dubes Amerika Serikat, Monas dan sejumlah gedung mewah kementerian Indonesia. Apa artinya?
Aksi 1 desember 2022 di Ibukota Negara Indonesia itu, mempertegas bahwa pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua, yang sesugguhnya bertanggung jawab adalah Indonesia ‘kolonial’ dan Amerika ‘kapitalis’. Dan juga memperjelas bahwa gedung berlantai mewah di langit mamakota itu, merupakan hasil dari Ekosida, Genosida dan Etnosida yang dipraktekkan penguasa terhadap orang-orang papua.
Di tengah kesibukan orang Jakarta, panas yang membakar bumi, kota yang bising, seorang perempuan Papua menggenggam erat megafon, dari atas mobil komando, tangisan penderitaan banjiri jantung mamakota, kota batavia dahulunya.
Tubuhnya yang dibungkus rapi dengan kain bintang kejora, lukisan sang fajar memenuhi kulitnya, rambut keritingnya yang dilindungi dengan noken bintang kejora, perempuan papua itu berdiri kokoh di depan bundaran patung kuda dan Monas, di hadapan gedung kementerian, dia menyerukan perlawanan terhadap negara yang menjajah bangsanya, West Papua!
‘Sa mo bebas…sa mo bebas… sa mo bebas..’ terdengar terus dari suara perempuan papua itu.
Tangan-tangan besi, sepatu besi, timah panas, penjahat berseragam, anjing milik penguasa mengelilingi perempuan papua itu. Tak henti-henti, lagu Arnold Ap dinyanyikannya sebagai ungkapan kebebasan.
Para penjahat berseragam yang dipelihara negara itu, mulai mendekatinya dan menyuruhnya diam. Jika tidak, nyawa jadi ancaman. ‘apa yang salah dari bintang kejora, apa yang salah dengan kebebasan, apa yang salah dari perdamaian dan keadilan’. Tangis terus membanjir basahi kain bintang kejora, papua merdeka tak henti terucap. Merasa geram dengan kekuasaan yang otoriter, meludahi aturan negara yang menindas rakyat, mengutuk pencuri bersepatu emas yang rakus dan menentang penjahat bertopeng rakyat.
Penjahat peliharaan negara lalu merampas megafonnya, mematahkan benderanya, merobek kain bintang kejoranya, mengusirnya dari mamakota.
Sisa tubuhnya, jiwanya yang utuh dilempar ke dalam penjara atas nama bintang kejora, atas nama kebebasan, atas nama papua merdeka, atas nama cinta dan revolusi. bintang kejora yang patah di jantung penguasa!
(Oleh: Maksimus Syufi)
Jakarta, 01 Desember 2022
0 Komentar